Dean Novel, petani jagung di Lombok, NTB menilai, petani tidak ada masalah berarti dengan produksi jagung. Namun, kendala yang dirasakan petani saat ini adalah dari sisi hilir, yakni pascapanen dan pasar, terutama soal harga jagung.
Harga pembelian dan penjualan jagung diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 7 Tahun 2020 Tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Dalam permendag itu, pemerintah menetapkan harga pokok pembelian (HPP) jagung di tingkat petani sebesar Rp2.500/kg untuk kadar air 35%, Rp2.750/kg kadar air 30%, Rp2.850/kg kadar air 25%, Rp3.050/kg kadar air 20%, dan Rp3.150/kg kadar 15%.
Dean berharap, pemerintah membuat patokan harga jagung yang terstandar seperti di luar negeri. Dengan adanya kepastian harga, petani mempunyai insentif untuk berusaha tani. “Pemerintah melihat harga jagung sekarang sudah cukup mahal, di atas HPP. Tapi pertanyaannya cara menghitung HPP itu seperti apa?” tegasnya.
Dean memprediksi, tahun ini harga jagung akan tinggi sebagai dampak biaya produksi jagung yang naik. Faktor penyebabnya, pupuk subsidi sedikit sehingga banyak petani menggunakan pupuk nonsubsidi yang harganya mencapai Rp12 ribu/kg. Belum lagi biaya obat-obatan ditambah pertanaman pada musim hujan.
Jika pemerintah merevisi HPP jagung, ia mengingatkan, harus hati-hati. Dean mengusulkan agar HPP jagung tidak bersifat nasional tapi regional karena kondisi setiap daerah berbeda. “Tahun ini saya perkirakan kondisinya akan sama dengan tahun 2021, biaya produksi petani cukup mahal,” tandasnya.