Tahukah Sobat AgriVisi, keputusan pemerintah untuk mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton merupakan pilihan terakhir untuk memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP)?
CBP pada akhir tahun 2022 ini ditargetkan sebanyak 1,2 juta ton. Diharapkan dengan tambahan beras impor tersebut dapat memenuhi kebutuhan selama Januari – Februari 2023 yang terhitung masih defisit antara produksi dan konsumsi.
Budi Wuryanto, Direktur Ketersediaan Pangan, Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengatakan, stok yang dikuasi Perum BULOG saat ini tidak dalam kondisi ideal menghadapi natal dan tahun baru (Nataru) 2022. Hingga 21 Desember, CBP yang ada di BULOG hanya sebanyak 399.160 ton. Padahal, idealya 1,2 juta ton sesuai target pemerintah.
“Karena itu, pemerintah melakukan top up agar CBP bisa mencapai 1,2 juta ton. Jadi, impor 500 ribu ton merupakan pilihan terakhir untuk memenuhi CBP,” kata Budi saat diskusi Forum Wartawan Pertanian (FORWATAN): Pasokan Beras Jelang Nataru, Amankah? di Jakarta, Jumat (23/12).
Dibandingkan kebutuhan bulanan, kondisi stok beras saat ini masih sangat jauh. Akhirnya, pemerintah dalam Rakortas memutuskan Perum BULOG mengimpor 500 ribu ton beras untuk memperkuat CBP hingga Januari – Februari 2023.
Sedangkan, sisanya 500 ribu ton dari dalam negeri. “Pada Maret 2023 saat panen raya, pemerintah akan mendorong BULOG untuk segera menyerap gabah/beras petani,” terang Budi.
Sobat AgriVisi, Budi mengakui, tipisnya stok CBP yang dipegang BULOG, salah satu faktornya adalah tingginya pengeluaran beras Program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) atau operasi pasar untuk menjaga stabilisasi harga beras yang naik cukup tinggi sejak Juli. Jika pada Januari harga beras medium masih sekitar Rp10.900/kg maka pada Desember sudah mencapai Rp11.300/kg.
Sedangkan, volume beras KPSH yang sebelumnya di bawah 100 ribu ton, pada Agustus mencapai 200 ribu ton. Bahkan hingga akhir tahun 2022, volume beras yang BULOG gelontorkan untuk program KPSH mencapai 1,16 juta ton.
“Jika stok CBP BULOG menipis, sulit bagi pemerintah meredam laju peningkatan harga beras. Padahal kenaikan harga beras berkontribusi tinggi terhadap inflasi dan kenaikan pangan lainnya,” ujarnya.
Melihat secara keseluruhan perbandingan produksi padi nasional dengan kebutuhan, ungkap Budi, maka masih ada surplus. Produksi tahun 2022 berdasarkan perhitungan KSA (Kerangka Sample Area) BPS sebanyak 55,43 juta ton gabah kering giling (GKG) atau 31,93 juta ton setara beras. Dengan kebutuhan setahun 30,19 juta ton, akan ada surplus sekitar 1,7 juta ton.
“Tapi kalau melihat produksi bulanan, sejak Agustus produksi dibandingkan kebutuhan minus,” ujarnya.
Harga Melonjak Tinggi
Sementara itu Sobat AgriVisi, Kepala Divisi Perencanaan Operasional dan Pelayanan Publik Perum BULOG, Epi Sulandari menjelaskan, pada April 2022 stok CBP mencapai 1,2 juta ton. BULOG menghitung, stok ini diperkiraan cukup hingga akhir tahun lantaran penyaluran beras sebagian besar untuk KPSH hanya sekitar 500 hingga 1.000 ton per hari atau 20-30 ribu ton per bulan.
“Dengan stok 1,2 juta ton sampai Juli, maka Agustus sampai Desember dalam waktu lima bulan diperkirakan hanya butuh sekitar 150 ribu ton saja untuk keluar. Artinya, stok akhir kita masih di atas 1 juta ton karena pada saat panen gadu berikutnya, Agustus, September, kita masih bisa menyerap,” jelas Epi.
Namun, ia melanjutkan, saat Agustus 2022 harga beras melonjak tinggi di pasar serta permintaan masyarakat juga meningkat akibat dari kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM). Kenaikan harga beras mendorong naiknya permintaan CBP untuk KPSH hingga 214 ribu ton pada Agustus.
“Kondisi inilah yang kemudian Agustus-Desember ada pada kisaran 200 ribu ton yang mengakibatkan stok mulai tergerus,” jelasnya.
Sejak ada kenaikan permintaan tersebut, imbuh Epi, pemerintah meminta BULOG untuk membeli gabah dalam negeri. Akan tetapi, berdasarkan neraca bulanan pada periode November hingga Desember terjadi defisit antara produksi dan konsumsi.
“Secara bulanan pada Oktober November Desember terjadi defisit secara bulan yang artinya kalau BULOG menyerap akan menyerap stok-stok sisa yang lama,” ungkapnya.
Efek Musiman
Sobat AgriVisi, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, yang hadir pada diskusi ini menilai, kenaikan harga beras dipengaruhi oleh efek musiman. “Kalau kita lihat sepanjang Semester II 2022 ini memang mengalami peningkatan yang trennya cukup tinggi. Apalagi, setelah terjadi kenaikan harga BMM pada September 2022. Sementara di sisi lain, produksi beras mengalami penuruan karena sedang memasuki musim tanam,” ucap dia.
Heri mengatakan, penurunan stok dan produksi beras bisa menimbulkan kekhwatiran terhadap pasokan beras. Khususnya, menjelang Nataru yang biasanya terjadi peningkatakan konsumsi apalagi daya beli terus membaik setelah pandemi.
“Ini tentu saja menimbulkan implikasi terhadap bahan pangan. Tentu saja ini juga menimbulkan permitaan yang besar sehingga pasokan terhadap beras ini memang perlu dijaga,” tandasnya.