Meningkatkan nilai tambah salak merupakan salah satu cara untuk mengangkat daya saing komoditas eksotik holtikultura tersebut lo, Sobat AgriVisi.
Karena itulah, Kementerian Perindustrian fokus menjalankan kebijakan hilirisasi industri agro guna meningkatkan nilai tambah komoditas di dalam negeri. Salah satunya adalah buah salak, yang sebagian banyak ditanam di wilayah Sulawesi Utara.
“Buah salak juga sudah terdaftar sebagai unggulan nasional dikarenakan tingginya permintaan pasar dalam negeri serta potensi ekspor yang semakin terbuka,” kata Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Doddy Rahadi.
Sulawesi Utara dikenal memiliki dua varietas salak. Yaitu, varietas Zalacca yang banyak tumbuh di Pulau Tagulandang, Sangihe dan Talaud. Sedangkan, varietas Amboinensis yang banyak ditemui di Desa Pangu, Minahasa Tenggara.
Nah di antara varietas tersebut, salak Pangu memiliki keunggulan dibandingkan jenis salak lain, yaitu rasanya yang manis dan gurih tanpa rasa sepat. Karakteristik ini dipengaruhi kandungan gula yang tinggi sebesar 23,30% dan komposisi tanninnya yang relatif kecil, 0,08%.
“Namun, buah salak memiliki sifat mudah rusak. Selain itu, jika sudah terlepas dari tandannya, buah salak tidak dapat disimpan lama. Hal ini menjadi permasalahan ketika masa panen tiba, di mana jumlah salak melimpah namun tidak dapat segera didistribusikan,” ungkap Doddy.
Sobat AgriVisi, saat masa panen, pohon salak dapat dipanen dua kali sebulan. Setiap hektar kebun salak bisa menghasilkan 600-1000 kg salak.
Menurut data Balai Penyuluhan Pertanian, Pertanian dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Ratahan Timur, di wilayah Pangu, terdapat 553 ribu pohon salak produktif. Total produksi buah salak dari Minahasa Tenggara tercatat sebanyak 32 ribu ton pada tahun 2020.
Saat masa panen ini harga salak di pasaran akan turun dari harga normal Rp10.000 menjadi Rp3.000 per Kg.
“Hal ini tentu menjadi masalah besar bagi petani salak di wilayah Pangu. Oleh karena itu, Balai Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri (BSPJI) Manado berupaya untuk mencari solusinya dengan memperkenalkan teknologi pengolahan buah salak menjadi produk pangan dodol salak,” papar Doddy.
BSPJI Manado sebagai satuan kerja di bawah BSKJI Kemenperin, memiliki teknologi pembuatan dodol dari bermacam buah asli Sulawesi Utara seperti buah pala dan salak.
“Dodol salak sangat tepat diperkenalkan ke masyarakat karena bahan bakunya mudah didapatkan, serta cara pembuatannya yang sederhana. Dodol salak menggunakan gula aren dan santan yang juga melimpah di wilayah Minahasa Tenggara,” imbuhnya.
Sobat AgriVisi, dalam upaya memperkenalkan hasil inovasi teknologi tersebut, BSPJI Manado bekerja sama dengan UD Mandiri sebagai mitra penerapan teknologi pengolahan dodol salak. Upaya pendampingan yang dilakukan BSPJI Manado meliputi pemilihan bahan baku, penggunaan teknologi pembuatan dodol salak, dan pengemasan produk yang sudah jadi.
“Awalnya buah salak yang diproses menjadi dodol hanya berasal dari kebun milik UD Mandiri. Setelah produknya mulai dikenal dan permintaan naik, UD Mandiri mulai mengambil buah salak hasil kebun di sekitar Desa Pangu. Produk dodol yang sudah jadi dikemas dalam kemasan plastik dan juga kemasan tradisional daun woka (daun lontar),” tutur Kepala BSPJI Manado, Henry Pajow.
Untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat dari waktu ke waktu, baik pasar lokal Sulut maupun luar Sulut, dalam sebulan UD Mandiri memproduksi sekitar 400 pak dodol siap jual.
“Dalam setiap bulannya, kami biasanya tiga kali berproduksi, yang hasilnya berkisar 400 pak dodol. Jumlah tersebut cukup memenuhi kebutuhan pasar saat ini,” sebut Artje Sengkey, pemilik UD Mandiri.
Saat ini dodol salak produksi dari UD Mandiri telah dikenal sebagai oleh-oleh khas dari Sulawesi Utara. Setiap pak dodol salak (netto 130 gram) dijual dengan harga Rp10.000. Hal ini tentunya jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan harga buah salak segar.
Dengan asumsi 400 pak terjual per bulan, maka omzet mencapai Rp4 juta. Bandingkan jika dijual segar, 50 kg buah salak hanya akan dihargai Rp400 ribu. Jauh sekali omzetnya ya Sobat AgriVisi.
Angka tersebut menunjukkan betapa meningkatnya nilai ekonomis buah salak setelah diolah menjadi dodol. Dan untuk menghasilkan dodol sebanyak itu, membutuhkan daging buah salak sekitar 50 kg.
Sobat AgriVisi, produk dodol salak UD Mandiri dapat ditemui di toko oleh-oleh di Minahasa Tenggara dan Manado serta di beberapa toko daring.
“Kami hanya pengusaha kecil di daerah, oleh karena itu kami bangga jika hasil produk kami bisa dibeli oleh banyak orang, termasuk para wisatawan dari luar negeri. Bahkan dodol produksi kami juga sudah pernah dipasarkan sampai ke luar daerah Sulut dan cukup laris,” tandas Artje.