Sektor pertanian menghadapi berbagai tantangan yang perlu segera diatasi. Di antaranya, sumber daya lahan dan air yang semakin terbatas, fenomena perubahan iklim yang menyebabkan peningkatan suhu, munculnya iklim ekstrim, serta terjadinya pergeseran pola musim dan curah hujan telah menjadi ancaman bagi upaya peningkatan produksi pertanian.
Untuk itu, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) terus mendorong inovasi pertanian yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Menurut SYL, Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) harus bisa membaca perubahan iklim dan beradaptasi dengannya.
Bentuk adaptasi itu ditunjukkan dengan menghasilkan varietas benih unggul yang adaptif perubahan iklim. “Kita harus terus mendorong inovasi untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Seperti bagaimana menghasilkan varietas yang tahan kering sampai tahan rendam ataupun varietas yang bisa ditanam di lahan kering atau lahan rawa,” ungkapnya dalam pengukuhan Fadjry Djufry sebagai Profesor Riset Kementan di Bogor, Selasa (25/1).
Mentan mengatakan, tanpa riset dan teknologi dalam menghadapi perubahan iklim,s ektor pertanian bsia hancur. “Ini adalah kesempatan semua pejabat dan politisi untuk berbicara dan berpikir mengenai dampak perubahan iklim,” ujarnya.
SYL berharap peran professor riset di Balitbangtan bisa memperkuat makna penelitian bagi sektor pertanian. “Kita perlu menyadari bahwa riset itu penting untuk keberlangsungan sektor pertanian. Apalagi, pertanian hingga saat ini telah membuktikan bisa berkontribusi secara pasti bagi bangsa dan negara,” jelasnya.
Konsep PCII
Dalam orasinya, Fadjry mengangkat tentang “Pertanian Cerdas Iklim Inovatif Berbasis Teknologi Budidaya Adaptif Menuju Pertanian Modern Berkelanjutan”. Ia menawarkan konsep Pertanian Cerdas Iklim Inovatif (PCII) yang merupakan pengembangan Climate Smart Agriculture yang dicetuskan FAO pada 2013 sebagai solusi menghadapi perubahan iklim.
“PCII disesuaikan dengan tantangan riil kondisi pertanian Indonesia saat ini, perkiraan keadaan ke depan, serta diperkaya dengan berbagai inovasi teknologi budidaya hasil penelitian di berbagai lokasi dan agroekosistem Indonesia, dan didukung Sistem Informasi Iklim dan Tanaman (SICIT)” jelasnya.
Profesor Riset Kementerian Pertanian ke-159 ini juga merekomendasikan agar konsep Riset dan Pengembangan Inovatif dan Kolaboratif (RPIK) yang dikembangkan Balitbangtan sejak 2020 dapat dijadikan pembuka jalan mempercepat hilirisasi penerapan PCII.
“Konsep PCII pada dasarnya juga sangat relevan dengan beberapa program strategis Kementerian Pertanian, terutama program Food Estate pada lahan rawa dan lahan kering, serta lahan kering beriklim kering.” lanjutnya.
Dalam konteks kebijakan, Fadjry menerangkan, model PCII dapat diposisikan sebagai konsep atau sekaligus strategi dalam menghadapi perubahan iklim dan tantangan pembangunan pertanian lainnya. Selain itu, PCII dapat memperkuat berbagai program strategis Kementerian Pertanian yang relevan seperti food estate, ketahanan pangan, termasuk komitmen internasional dalam menghadapi perubahan iklim.
“Diperlukan penguatan kelembagaan dan korporasi petani, serta kerjasama antara Kementan dengan berbagai lembaga penelitian serta perguruan tinggi untuk mengembangkan dan menerapkan PCII” jelasnya.