Setelah perjalanan uji coba selama 15 tahun, Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Mandiangin berhasil membudidayakan ikan belida. Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ini bahkan sukses mengubah perilaku ikan karnivora tersebut menjadi ikan yang mengonsumsi pakan buatan.
Menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, TB Haeru Rahayu, beberapa kendala dialami sampai pada akhirnya berhasil melakukan proses domestikasi hingga ikan belida mampu beradaptasi dengan wadah budidaya dan lingkungan yang berbeda dari habitat alaminya. Dengan demikian, ikan belida mampu dilakukan proses pembesaran dan beradaptasi serta mau diberi pakan pelet dengan protein tinggi secara penuh.
Keberhasilan budidaya ini merupakan langkah dalam menjaga keanekaragaman hayati sebagai upaya pelestarian ikan belida. Di samping itu, guna menyiapkan langkah strategis agar ikan belida mampu dikembangkan sehingga mampu dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. “Keberhasilan ini sejalan dengan program prioritas KKP, yang ingin meningkatkan produksi komoditas-komoditas unggulan terutama yang berbasis pada kearifan lokal,” ucapnya.
Ikan belida merupakan ikan air tawar yang memiliki nilai ekonomi tinggi di Indonesia. Karena selain dikonsumsi, ikan ini juga menjadi ikan hias karena tampilannya unik. Ikan belida terkenal dengan dagingnya yang super lezat, digunakan sebagai bahan baku makanan khas asal Palembang, yaitu pek-empek dan kerupuk.
Dari segi warna dan corak, memang tampilan dari ikan belida ini mampu memikat. Tak heran banyak orang yang mencari ikan belida. “Ini potensi besar, maka keberhasilan ini merupakan capaian yang selama ini kita semua nantikan,” ujar Tebe yang mengapresiasi BPBAT Mandiangin sebagai satu-satunya UPT yang berhasil membudidayakan ikan belida di Indonesia.
Kepala BPBAT Mandiangin, Evalawati menjelaskan, tahun ini akan dibentuk tim untuk merilis ikan belida sehingga dapat dibudidayakan secara massal oleh pembudidaya ikan seluruh Indonesia. Harapannya setelah dirilis, masyarakat tidak lagi tergantung pada ikan belida tangkapan alam.
Sehingga, ikan ini tidak lagi menjadi komoditas yang dilindungi tetapi kembali bisa dibudidayakan dan dikonsumsi oleh masyarakat. “Setelah ini, selain masyarakat lebih mudah mendapatkan ikan belida, tapi juga ikan belida terjaga dari kepunahan,” kata Evalawati.

Proses Domestikasi
Penanggung Jawab Ikan Lokal, Puji Widodo menceritakan perjalanan proses sampai keberhasilan ini. Menurut Widodo, mulai pada tahun 2005, program domestikasi ikan belida diperlukan pengembangan teknik pemeliharaan induk, pemijahan, pemeliharaan benih, dan pembesaran. “Keberhasilan dalam pemijahan hingga pembesaran ikan belida dalam wadah budidaya, diharapkan akan dapat membantu dalam pengembangan budidaya ikan tersebut dalam memenuhi kebutuhan masyarakat seperti untuk pengolah kerupuk atau empek-empek,” tuturnya.
Menurut Widodo, prosesnya sampai saat ini memang berlangsung lama, mulai dari proses domestikasi sampai akhirnya ikan sudah berhasil. Saat ini semua ikan bisa diberi pakan buatan berupa pelet. Dari stadia larva hingga induk berhasil dengan pemberian pakan pelet sejak tahun 2019. Dan, sekarang induk belida yang dimiliki sebanyak 110 ekor dengan ukuran 2-4 kg, rata-rata produksi benih ukuran 1-3 cm per bulan sebanyak 1.000–2.000 ekor.
“Untuk mendapatkan formula pada tahapan budidaya yang tepat memang butuh proses panjang. Tapi sekarang kita sudah dapat menemukan teknologinya. Seperti teknologi pemijahan, dengan pemijahan alami menggunakan sarang dari kayu ulin. Sementara, teknologi pendederan yang digunakan untuk produksi benih ikan belida menggunakan sistem resirkulasi sederhana dengan aplikasi pakan buatan dari larva hingga mencapai ukuran induk,” jelas Widodo.
Selain itu, dulu kesulitan untuk produksi benih karena belum ditemukan pakan yang tepat dari ukuran larva sampai benih. Kini masalah itu sudah dapat teratasi. Fase kritis dari tahap larva ke benih, bahkan pembesaran hingga induk juga sudah menggunakan pakan pelet.
Pemijahan belida dilakukan secara alami. Jadi, produksi benih tergantung dengan jumlah induk dan jumlah telur hanya kisaran ratusan saja, yaitu 300-500 butir/induk. “Singkatnya dulu sulit untuk produksi benih dan induk, sekarang telah bisa diatasi,” terangnya.
Dengan konsumsi pelet, lanjutnya, ketergantungan terhadap pakan alami pada tahap pemijahan hingga pembesaran dapat dihilangkan. Selain itu, ikan menjadi lebih jinak, tidak mudah stres, dan mudah adaptasi di lingkungan budidaya. Jika dari kecil sudah terbiasa dengan pakan buatan, untuk tahap pembesaran menjadi mudah adaptasi di kolam atau KJA (keramba jarring apung).
Dari segi performa pertumbuhan, untuk ukuran larva dan benih, pertumbuhan kurang lebih sama bila dengan pakan alami, yakni mencapai ukuran 5-8 cm dalam waktu 1,5 bulan. Bahkan, bisa lebih hemat biaya pakan. Waktu pemeliharaan untuk mencapai ukuran konsumsi sekitar 100 gram per ekor selama 4 bulan. Sementara untuk mencapai ukuran 1 kg per ekor, diperlukan waktu kurang lebih 2 tahun.
“Harapannya ke depan, ikan belida hasil budidaya mampu menjadi solusi untuk meningkatkan populasi ikan belida di alam, mencegah penangkapan ikan belida di alam, terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kerupuk amplang bisa dialihkan ke ikan belida hasil usaha budidaya masyarakat sekitar. Sehingga selain mampu menggerakkan ekonomi masyarakat setempat, juga menghindari kepunahan ikan belida,” tandasnya.