stok beras cadangan pemerintah tengah menipis - Perum BULOG

Sobat AgriVisi, penguatan data merupakan masalah yang vital untuk pengambilan kebijakan. Sayangnya, masih terjadi ”perang” data beras antara Kementerian Pertanian (Kementan) dengan Badan Pangan Nasional (BPN) mengenai produksi, angka konsumsi dan surplus beras.

Kementan hingga saat ini mengklaim beras surplus. Sedangkan, BPN melalui operatornya masih sulit mengisi beras untuk pemenuhan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Selama 6 hari kerja ke depan, Kementan diberi tugas mencari beras dalam negeri untuk operator CBP atau komersil.

Menurut Ketua Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang (KKPIBC), Zulkifli Rasyid, saat ini stok beras menipis di PIBC dan diprediksi semakin kritis. Jika dicermati, kata Zul, stok beras Bulog saat ini memprihatinkan, hanya 625 ribu ton.

Stok ini tidak akan cukup untuk menghadapi permintaan akhir tahun dan awal tahun 2022-2023. Sehingga, harga beras diprediksi melonjak.

Harga beras medium, Zul menyatakan, berada di level harga tertinggi, mencapai Rp9.200/kg di PIBC. Harga ini naik dari sebelumnya Agustus 2022 sekitar Rp8.300-Rp8.500/kg.

Harga tersebut hampir mencapai HET yang ditetapkan pemerintah. Hal ini karena beras yang mengalir dari daerah sudah tidak ada. Satu-satunya beras yang bisa menyuplai ke pasar induk adalah Bulog dan stok beras Bulog pun semakin mengkhawatirkan.

Warning, jika pemerintah lalai dan abai. Jangan sampai kejadian terjadi kembali seperti 20-17-2018. Data tidak akurat mengakibatkan fatal. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi kembali. Langkah yang tepat, pemerintah harus sesegera mungkin melakukan impor. Seandainya pemerintah tidak mengimpor jawabannya wassalam. Nanti sama-sama kita buktikan bulan Desember, Januari, Februari yang akan datang,” ujarnya dalam Dialog “Polemik Menimbang Impor Beras di Tengah Klaim Surplus,” di Jakarta (29/11).

Sementara itu Sobat AgriVisi, Guru Besar Fakultas Ekonomi & Manajemen IPB University, Yusman Syaukat menerangkan, data SCBN oleh Kementerian Pertanian dan BPS, stok beras 5 kali lebih besar di rumah tangga dibanding di pedagang. Ia meragukan rumah tangga melakukan stocking karena Rumah Tangga dibagi 2, yakni Rumah Tangga Petani (RTP) dan bukan petani.

Pada RTP/petani, ketika panen tidak menjual seluruh produknya namun menyimpan sebagian dari gabah untuk keperluan pribadi. “Sebagian besar yang disimpan dalam bentuk gabah sementara yang disimpan oleh Bulog dalam bentuk beras, jadi sangat-sangat sedikit,” ungkapnya.

Yusman mengatakan, rendahnya cadangan pemerintah yang dikelola oleh Bulog menyebabkan sulitnya menjaga ketahanan pangan nasional. Karena itu, dikhawatirkan harga beras akan meningkat.

“Jika saat ini kekurangan pangan dan sekaligus mencari solusi saat ini juga, merupakan suatu kemunduran suatu bangsa. Semestinya sudah bisa diantisipasi sebelumnya,” kritiknya pedas.

Dalam jangka pendek, melakukan pengadaan pangan akan sulit. Apalagi, di November waktu-waktu produksi padi telah terlewat. Maka, sulit melakukan pengadaan cadangan beras dalam negeri.

Sedangkan, luar negeri pun perlu waktu untuk melakukan importasi di samping belum ada barangnya. “Masalah pangan tidak boleh sembarangan. Harus mempersiapkan dari jauh hari karena beras ini merupakan masalah pangan utama sekaligus politis sehingga harus dipersiapkan dengan baik,” tegasnya.

Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menyampaikan, produksi beras dalam satu tahun ada 3 siklus. Siklus pertama adalah panen raya yang terjadi pada Februari-Mei, produksinya sekitar 60%-65%. Kedua, panen gadu Juni sampai September-Oktober 30%-35%. Ketiga, November-Februari yaitu musim paceklik, produksi sangat kecil.

Panen raya merupakan musim untuk menyerap bagi Bulog untuk memperbesar cadangan. Jika melihat data yang ada, penyerapan terbesar Bulog sepanjang lembaga ini lahir, mencapai 65%-70% di musim panen raya. Sisanya serapan dilakukan di musim panen gadu.

Sebaliknya di musim paceklik saat pasokan terbatas, produksi terbatas dan harga tinggi. Konsentrasi lembaga seperti Bulog adalah di hilir dengan mengamankan harga di level konsumen.

“Sejak 2018 ketika pemerintah mentransformasi Raskin dan Rastra menjadi bantuan pangan nontunai menjadi program sembako yang full berlaku sejak 2020. Namun, terjadi anomali dan menimbulkan trade off penyaluran dan penyerapan terjadi bersamaan. Hal ini terjadi seperti saat ini,” ungkapnya.

Sobat AgriVisi, Praktisi Kebijakan Publik, Alamsyah Saragih mengatakan, seharusnya pengadaan dilakukan pada waktu harga turun. Sedangkan, saat ini harga sudah tinggi. Jika melakukan pengadaan maka tidak mungkin karena pasar melakukan eskalasi.

Jika pemerintah tidak mau impor, boleh saja. Harganya akan naik dan ada waktu turun juga pada saat panen. Masalahnya, harga ini mempengaruhi inflasi dan mempunyai dampak yang lain.

“Maka, pertimbangannya adalah impor. Lantas, impor beras bukan berarti kita tidak berswasembada beras. Kita tidak berswasembada karena tidak pintar menyimpan arus stok,” sindirnya.

Pengamatan Alamsyah, beberapa kali kekacauan manajemen stok ini sering kali menyebabkan terpaksa impor. ”Maka, perbaiki sistem dan jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama di waktu yang lalu,” tegurnya.

Ia menyarankan, Bulog harus segera melakukan sistem komersil dengan sistem publik stok beras. Jangan haramkan Bulog berbisnis padi di kawasan regional ASEAN dan Asia. Jika ada kekurangan, sewaktu-waktu bisa diambil.

“Biarkan cari untung dari sisi komersil. Jika kita tidak bisa mengintegrasikan sistem komersil dengan sistem publik stok, seterusnya kita akan berdebat masalah ini tak selesai-selesai. Tentu harus ada ukuran-ukuran akuntabilitas kenapa pengadaan terlambat, dan ini dijadikan evaluasi kinerja terhadap institusi kita,” pungkasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here