Setiyono, program transmigrasi dengan sawit berhasil - Pribadi

Zaman itu sulitnya bukan kepalang. Hidup di dalam hutan dengan gaji yang nggak cukup buat makan. Jauh pula dari keramaian.

 

Apalah daya, beras kutuan pun dilahap juga. Sungguh terpaksa!

 

Kondisi seperti itulah yang dialami Setiyono saat pertama kali menginjakkan kaki di bumi Lancang Kuning. Pada Desember 1989, bersama istri dan seorang anak yang masih tertatih belajar berjalan di usia 9 bulan, pria asli Kediri, Jawa Timur ini mengikuti program transmigrasi ke tanah Riau.

 

“Saya di sekolah ‘kan ada pelajaran transmigrasi. Karena nengok kondisi orang tua, ya udahlah ikut transmigrasi aja,” Setiyono mengungkap kisah hidupnya semasa SMA.

 

Orang tua Setiyono bukanlah dari kalangan berada. Sewaktu di bangku SMA, Setiyono menyambi jualan bakso untuk membiayai pendidikannya. Mau lanjut kuliah selepas SMA, nggak ada dana.

 

“Dulu sawah nggak punya, lahan nggak punya,” kenangnya. Setiyono yang menikah di usia terbilang muda, jalan 21 tahun pada 1988, akhirnya memutuskan bertransmigrasi.

 

“Nggak tahu jatuhnya di mana,” pria kelahiran 16 September 1967 itu menjelaskan, “Tahu-tahu, alhamdulillah di wilayah kebun sawit.”

 

Saat pendaftaran transmigrasi, tidak ada pilihan mau ditempatkan di mana. Yang jelas ketika pelatihan persiapan transmigrasi, para peserta diberi gambaran kehidupan di hutan dan dibekali keterampilan bertani buat persiapan hidup di sana.

 

Setiyono bersyukur daerah tujuan transmigrasinya adalah wilayah perkebunan kelapa sawit yang terletak di Desa Teluk Merbau, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau. Program transmigrasi ini ternyata digandengkan dengan Program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) sehingga disebut PIR Transmigrasi atau PIR-Trans.

 

“Saya datang tahun ’89. Sawit itu alhamdulillah ditanam tahun ’85 – ‘86. Jadi, sawit sudah berumur, sudah panen,” ucapnya. Setiyono dan para transmigran diberi rumah lengkap dengan pekarangan, kebun sawit 2 ha, juga benih jagung dan kedelai.

 

Walau begitu, bukan perkara mudah tinggal di daerah terpencil yang baru dibuka. “Karena waktu datang trans nggak ada yang dimakan, bibit jagung yang sudah diobatin ya dimasak juga. Karena uang nggak punya, belanja jauh, ya… makan ala kadarnya,” sahut ayah enam anak ini.

 

Makan dengan lauk garam sudah jadi kebiasaan. Apalagi makan beras berkutu, diterima saja mau tak mau.

 

“Walaupun zaman itu susah bukan main, dikasih jatah beras berkutu-kutu ya tetap kita makan,” ungkapnya.

 

Menurut Setiyono, harga tandan buah segar (TBS) sawit di tahun 1990 sekitar Rp60/kg. “Saya nerima gaji dari sawit bulan Juni tahun ‘90 itu Rp14 ribu sebulan. Ya… untuk makan nggak cukup,” dia terbahak.

 

Setiyono tidak berdiam diri. Petani plasma mitra PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V ini mengerjakan hal lain.

 

Dia juga mengikuti pelatihan dari pemerintah dan perusahaan inti. “Banyak pelatihan, kita dibina,” sambungnya.

 

Setiyono membenarkan, banyak transmigran yang nggak tahan menghadapi kerasnya hidup di hutan. “Waktu itu memang susah hidup di transmigrasi tahun ’90-an. Karena harga sawitnya rendah, produksi juga belum banyak. Orang banyak yang pulang ke Jawa lagi, ditinggalkan aja kebun itu,” urainya.

 

Setiyono juga ingin balik ke kampung halaman. Tapi… “Kita mikir kalau ke Jawa, nggak ada harapan. Ya… kita bertahan,” dia mengukuhkan diri.

 

Saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1998, petani sawit mulai menikmati harga. Dari awalnya Rp200-Rp300/kg TBS, bisa tembus Rp800/kg.

 

Setiyono (tengah) bersama pengurus Aspekpir dan stakeholder sawit – Pribadi

 

“Pas tahun ‘98 itu sawit umur puncak-puncaknya. Satu kavling sempat dapat 9 ton. Itu uangnya hampir Rp6 juta – Rp7 juta.” Setiyono semringah. Senyumnya merekah.

 

“Gaji sawit satu bulan beli sepeda motor Honda Grand, itu sisa uangnya. Honda Grand harganya Rp4,2 juta kalau nggak salah,” buka Ketua Koperasi Tunas Muda ini blak-blakan. Masa itu memang sangat berkesan buat petani sawit. “Itulah ekonomi dari perkebunan mulai meningkat,” jelasnya antusias.

 

Setiyono pun mulai menabung dan bisa membeli lahan lagi. “Akhirnya… alhamdulillah, ya berhasil,” serunya yang juga punya kebun sawit swadaya. “Luasan swadaya nggak banyak. Cukuplah buat makan anak-istri,” katanya diiringi tawa.

 

Dia menambahkan, “Makanya dulu yang waktu susahnya nggak tahan, kabur, sekarang akhirnya menyesal ‘kan.”  Apalagi, Setiyono menilai, harga sawit lumayan lebih baik daripada komoditas pertanian lainnya.

 

“Sangat beruntung banget. Program transmigrasi dengan sawit ini saya anggap sangat berhasil,” puji Setiyono. Kalau ada orang bilang nggak berhasil, timpalnya, “Itu salah urus.”

 

Setiyono meluruskan, “Kalau orang bilang nggak berhasil, karena dia malas. Nggak mau merawat kebun, yang nggak berhasil itu. Atau, perusahaan inti kurang bonafide jadi nggak bisa membina petaninya.”

 

Setiyono awalnya bukanlah siapa-siapa. Tapi kini, petani sawit mana yang tidak mengenalnya? Dia Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR (Aspekpir) Indonesia periode 2018 – 2023.

 

Berkah bertani sawit, “Bapak” para petani plasma ini bisa merajut tawa bahagia untuk keluarga. Dia bahkan turut merangkai “tawa” buat para petani plasma dengan memfasilitasi dan menyalurkan aspirasi mereka kepada pemerintah dan stakeholder lainnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here